Sabtu, 13 November 2010

Sengketa Diselesaikan di Luar Pengadilan, Kenapa Tidak?

gambar : google.com
Selama ini kebanyakan penyelesaian konflik antar wilayah lebih banyak menempuh jalur formal seperti malalui persidangan yang memakan waktu dan tenaga bahkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun waktu, tenaga, dan biaya yang dikorbankan sudah sangat banyak akan tetapi sering kali konflik malah menjadi semakin meluas akibat salah satu pihak tidak bisa menerima keputusan pengadilan. Akibatnya kerugian yang ditimbulkan semakin besar. Mengingat kondisi yang demikian maka dikalangan birokrat yang kreatif muncul ide untuk menyelesaikan konflik dengan menggunakan metode yang lebih humanis yaitu menggunakan metode informal. Metode informal yaitu metode penyelesaian konflik di luar jalur hokum resmi dengan mempertemukan langsung pihak yang berselisih dengan teknik-teknik tertentu. Tidak ada aturan khusus yang membatasinya dan tidak ada dalam teori pemerintahan yang menjelaskannya. Penyelesaian ini merupakan bagian dari seni pemerintahan. Seni pemerintahan ini tidak bisa dipelajari dengan duduk mendengarkan dosen di depan kelas. Tapi seni pemerintahan ini diperoleh langsung dengan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat yang kita pimpin. Berinteraksi dan hidup bersama dengan masyarakat sehingga tahu bagaimana karakteristik mereka. Kebanyakan akar masalah yang menyebabkan terjadinya konflik antar wilayah di Indonesia berasal dari hal-hal yang mungkin kita anggap sepele. Namun jika hal yang sepele tersebut tidak cepat direspon untuk diselesaikan maka konflik akan meluas yang dapat menyebabkan kerugian akan sangat besar. Percaya nggak kalau kerusuhan yang mengakibatkan 16 rumah dan dua kendaraan roda dua dibakar serta dua toko habis dijarah belum lagi macet parah yang terjadi di lintas tengah Sumatera merupakan akibat dari salah paham antara anak-anak di kolam renang? Percaya nggak percaya ini memang fakta yang terjadi sekitar enam tahun lalu (maaf, data saya kurang up to date) di Muaro Kalaban, Sawahlunto Sinjunjung, Sumatera Barat. Perkelahian terjadi antara warga Muaro Kalaban dengan warga Padang Sibusuk. Perkelahian massal itu dipicu hanya karena salah paham antara anak-anak di kolam renang Muaro Kalaban. Persoalan meluas karena orang tua, saudara, dan keluarga menerima pengaduan sepihak dari anaknya. Kejadian tersebut berawal dari pemukulan terhadap seorang bocah bernama Yusril (12 th) oleh Doddy, pemuda asal Padang Sibusuk yang diduga sedang mabuk. Kejadian tersebut terjadi di pemandian dingin Muaro Kalaban. Karena tidak terima, akibat perbuatan Doddy, warga Muaro Kalaban “bergotong-royong” menghajarnya sampai babak belur. Kelurga dari pihak Doddy tidak terima. Warga Padang Sibusuk pun berduyun-duyun ke Muaro Kalaban untuk melancarkan aksi balas dendam. Akhirnya tawuran antar warga pun tak dapat dihindari. Kerugian ditaksir senilai 3,5 Milyar belum lagi kemacetan di jalur lintas Sumatera dan korban luka-luka yang diakibatkannya. Bukan hanya di sana konflik yang yang awalnya sepele tapi dampaknya besar terjadi. Hampir di seluruh wilayah di Indonesia hal semacam itu sering terjadi. Sungguh ironis memang hal seperti itu terjadi di negeri yang mengaku ramah ini. Dalam kasus sepele seperti di atas memang tidak harus diselesaikan dengan jalur hukum resmi jika para pemimpin di kedua pihak tanggap. Tanggap dalam arti mampu membaca kemungkinan yang akan terjadi jika masalah tersebut tidak diselesaikan dengan segera. Para pemimpin yang dituakan dalam hal ini lurah ataupun camat dituntut untuk dekat dengan masyarakatnya. Ketika mendengar isu konflik yang terjadi pada masyarakatnya ia sepantasnya memanggil kalau perlu mendatanginya dan menyelesaikan ditempat dengan menggunakan asas-asas musyawarah. Dalam hal ini camat atau lurah merupakan jabatan strategis karena mereka adalah ujung tombak pemerintah yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Aturan kita pun membolehkan dilakukannya proses penyelesaian konflik di luar pengadilan. Hal tersebut diatur dalam Keppres No.80 Tahun 2003 pasal 38 yang memungkinkan penyelesaian perselisihan di Indonesia dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi, arbitrase ataupun melalui jalur pengadilan bila sengketa terjadi. Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif ini disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Untuk dapat mengendalikan konflik tentu dibutuhkan figur pemimpin yang benar-benar mengerti seni pemerintahan selain ilmu (teori) nya. Dengan seni tersebut ia mampu memilih atau menggabungkan teori mana yang relevan sehingga apabila konflik bisa dicegah, kenapa harus menunggu kerugian yang lebih besar? *teguh ilham, 28 oktober 2010

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar