Rabu, 24 November 2010

DPD : Dewan Pertimbangan DPR??



DPD   merupakan sebuah lembaga yang baru muncul melalui perubahan (amandemen) ketiga UUD 1945. Dalam pasal 22 D disebutkan bahwa wewenang (lebih tepat disebut tugas) DPD adalah sebagai berikut : 1.) Mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan dan pusat dan daerah. 2) ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan dan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 3) melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan dan pusat dan daerah, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dari ketiga wewenang DPD tersebut terlihat bahwa DPD tidak mempunyai kewenangan atau kekuasaan apa pun. DPD hanya menjadi “Dewan Pertimbangan DPR” dan “Dewan Penasehat DPR”. Ia tidak berhak untuk memutuskan melainkan hanya memberikan masukan, usul, dan saran. DPD tidak dapat membuat produk yang bersifat mengatur (regelling) karena tidak diberikan kewenangan yang memadai layaknya lembaga-lembaga negara lain. Selain itu, DPD juga tidak mempunyai proteksi konstitusional karena adanya kemungkinan untuk dibubarkan oleh Presiden. Anggota DPD dan DPR sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, bahkan dianggap sebagai representasi wakil rakyat dari daerah langsung bukan wakil dari partai politik, tetapi DPD dan DPR tidak mempunyai hak dari sisi institutsional yang sama. 
Singkat cerita DPD tidak turut serta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi. Kondisi ini seolah-olah DPD berada di bawah DPR. Padahal ketentuan yang baru dalam UUD 1945 menyiratkan Indonesia menganut sistim bikameralisme (sistim dua kamar) yaitu adanya DPR dan DPD yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sistem perwakilan kita memang “abu-abu” karena sistim perwakilan MPR memberikan kesan bahwa Indonesia menganut sistim unikameralisme berciri bikameral karena salah satu kamar tidak mempunyai fungsi tersendiri dan tidak melembaga. Watak unikameralisme itupun semakin menonjol ketika 60 persen keanggotaan MPR berasal dari DPR sehingga MPR kini hanya sebagai “DPR Luas” (Moh. Fajrul Falakh, “Metamorfosis MPR”,2002).

Dalam bikameralisme, Giovanni Sartori membagi sistem parlemen bikameral menjadi tiga jenis, yaitu sistem bikameral yang lemah (soft bicameralism), sistem bikameral yang kuat (strong bicameralism), dan perfect bicameralism. Soft bicameralism terjadi apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kama lainnya. Sedangkan strong bicameralism terjadi apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat. Sedangkan perfect bicameralism terjadi ketika kekuatan diantara kedua kamarnya betul-betul seimbang. Pada sistem bicameral manakah kita berada? Tentu jawabannya adalah pada sistem Soft Becameralisme dengan alasan bahwa kedua kamar yang ada yaitu DPR dan DPD tidak mempunyai wewenang yang seimbang. DPD tidak mempunyai fungsi legislasi layaknya DPR. Fungsi budgeting nya pun terbatas. DPD tidak bisa menjadi lembaga pengontrol bagi DPR. DPD hanya memberikan pertimbangan bagi RUU yang terkait dengan hal-hal tertentu seperti yang telah disebutkan di atas.
BJika nanti akhirnya DPD mengajukan tuntutan untuk dilakukannya amandemen penguatan kedudukan nya agar sejajar dengan DPR maka DPD juga akan turut dalam pengambilan keputusan dalam bidang legislasi bersama-sama dengan DPR. Tetapi permasalahannya memperkuat DPD akan berdampak kepada pasal 5 UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan:’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya apabila amendemen tersebut disetujui maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR saja, tetapi juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang tidak secara sadar telah membentuk cluster MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD) bukan lagi menjadi lembaga tersendiri.. Hal lain penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR yang bukan bertugas sebagai pembentuk undang-undang.
Demikian lah opsi-opsi yang harus menjadi bahan pertimbangan jika nanti amandemen perubahan kedudukan dan kewenangan DPD dirumuskan, apakah DPD akan tetap menjadi “Dewan Pertimbangan DPR” ataupun benar-benar menjadi Dewan Pertimbangan Daerah tapi dengan konsekwensi mengubah kedudukan MPR sebagai suatu lembaga Negara yang terpisah. *ilham simabua

Sumber :
-       Falaakh, Muhammad Fajrul, Metamorfosis MPR (Teka-teki Parlemen Berkamar
                           Tiga,),  Kompas, (19 April 2002)
-     Ni’matul Huda, S.H,M.Hum, Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada.

-     Warsito, S.H., M.Kn. Ketika sudah menjadi anggota MPR Pengabdianmu Kepada Partai

                     Politik Itu Berakhir. www.mpr.go.id.

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar