I.
Pendahuluan
Dalam sistem
sentralisasi semua kewenangan ada pada pemerintah pusat yang berarti semua
daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi terjadi
penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Daerah yang mendapat
kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri disebut daerah otonom. Pemberian
otonomi kepada daerah hakekatnya merupakan manifestasi dari sistem
desentralisasi dalam pemerintahan di suatu negara. Konsep desentralisasi itu
sendiri di dalam ilmu Administrasi Publik merupakan suatu pendekatan dan teknik
manajemen yang berkenaan dengan fenomena tentang pendelegasian wewenang dan
tanggungjawab (delegation of authority
and responsibility) dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada
tingkat yang lebih rendah. Kebijakan desentralisasi menyangkut perubahan
hubungan kekuasaan di berbagai tingkat pemerintahan. Menurut Bird dan
Vaillacort (2000), ada tiga variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan
derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah, yaitu :
1.
Desentarlisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang
berada dalam lingkungan pemerintah pusat kepada instansi vertical di daerah
atau kepada pemerintah daerah.
2.
Delegasi behubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah
bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi
tertentu atas nama pemerintah.
3.
Devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi
yang bukan saja implementsi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang
perlu dikerjakan, berada di daerah.
Beberapa
ahli lainnya seperti Siedentopf (1987),
dan Mills (1991) juga menggunakan istilah desentralisasi untuk pengertian yang
luas. Menurut mereka istilah desentralisasi mencakup baik desentralisasi
administrative maupun desentralisasi politik.
Desentralisasi Administratif atau sering juga disebut
dengan dekonsentrasi adalah pendelegasian sebagian kekuasaan administrative
kepada pejabat-pejabat birokrasi atau aparat pemerintah pusat yang ditempatkan
di lapangan (wilayah). Aparat ini tidak mempunyai kekuasaan politik untuk
membuat suatu keputusan tau kebijakan publik. Yang mereka miliki hanyalah
kewenangan administratif untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan di pusat.
Desentralisasi politik atau devolusi berarti
pendelegasian sebagian wewenang dan tanggung-jawab membuat keputusan dan
pengendalian atas sumberdaya kepada instansi pemerintah regional yang memiliki
lembaga perwakilan dan memiliki kekuasaan pemerintah.
II.
Analisis Penyerahan
Kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
Ada dua
tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan
politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan.
Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi
masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan
berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat
terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan
Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk
menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan yang disediakan Pemda
kepada masyarakat ada yang bersifat regulative (public regulations) seperti
mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan
bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu
barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah
sakit, terminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh
Pemda haruslah menjawab kebutuhan riil warganya.
Daerah
Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada Daerah. Seluas apapun Otonomi Daerah, tetap ada dalam batas dan ruang
lingkup wewenang Pemerintah. Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara
Pusat dan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat
mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah
memperhatikan aspirasi Daerah sehingga tercipta sinerji antara kepentingan
Pusat dan Daerah. Agar terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan
pemerintahan yang efisien dan efektip antar tingkatan pemerintahan, maka
distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut:
a) Externalitas; unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut;
a) Externalitas; unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut;
b)
Akuntabilitas; unit pemerintahan yang berwenang mengurus suatu
urusan pemerintahan adalah unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak
yang ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan
pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari pengelolaan urusan pemerintahan
tersebut kepada masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut.
Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung
jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab
Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat;
c)
Efisiensi; pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait dengan luasan cakupan wilayah
(catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan.
Untuk mencapai skala ekonomi tersebut, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan tersebut.
Dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan inter-dependensi karena keterkaitan dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu "system". Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (inter¬koneksi) dengan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu maka diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan sinerji dalam melaksanakan kewenangan mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh (independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga tidak akan optimal apabila t:dak terkait dengan jalan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan suatu "sistem jalan" yang didukung oleh sub sistem jalan Negara, Plan Provinsi clan jalan Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai kewenangan penuh (independent) untuk mengelola " jalan" yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam menjalankan kewenangannya masing-¬masing, harus ada koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut, agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara optimal.
Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait dengan luasan cakupan wilayah
(catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan.
Untuk mencapai skala ekonomi tersebut, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan tersebut.
Dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan inter-dependensi karena keterkaitan dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu "system". Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (inter¬koneksi) dengan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu maka diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan sinerji dalam melaksanakan kewenangan mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh (independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga tidak akan optimal apabila t:dak terkait dengan jalan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan suatu "sistem jalan" yang didukung oleh sub sistem jalan Negara, Plan Provinsi clan jalan Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai kewenangan penuh (independent) untuk mengelola " jalan" yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam menjalankan kewenangannya masing-¬masing, harus ada koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut, agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara optimal.
Hubungan kewenangan antara daerah otonom Provinsi dengan daerah otonom Kabupaten/Kota tidaklah hirarkhis. Provinsi mempunyai kewenangan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang bersifat antar Kabupaten/Kota (regional) yang berdampak regional. Sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan menangani urusan-urusan pemerintahan yang berskala lokal yang dampaknya lokal. Keterkaitan antara kewenangan dan dampak adalah untuk menjamin akuntabilitas dari penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota akan bertanggung jawab atas urusan¬-urusan pemerintahan yang berdampak lokal. Pemerintah Daerah Provinsi akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak regional.
Pemerintah
Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi daerah
dapat berjalan secara optimal. Konsekwensinya Pemerintah bertanggung jawab
untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan memberdayakan Daerah agar mampu
menjalankan otonominya secara efektip, efisien, ekonomis dan akuntabel. Untuk
supervisi dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Provinsi
dilakukan langsung oleh Pemerintah. Sedangkan untuk melakukan kegiatan
supervise dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat
Kabupaten/Kota, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, tidak
akan efektip dan efisien kalau dilakukan langsung oleh Pemerintah. Untuk itu
Pemerintah berdasarkan prinsip "dekonsentrasi" menugaskan Gubernur selaku
wakil Pemerintah di Daerah untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi
tersebut.
Adalah sulit
bagi Gubernur secara pribadi untuk melakukan tugas supervisi dan fasilitasi
tersebut. Untuk itu seyogyanya Gubernur memerlukan adanya perangkat
dekonsentrasi untuk membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku
wakil Pusat di daerah. Untuk mencegah salah persepsi bahwa tujuannya bukan
untuk menghidupkan Kanwil dimasa lalu, maka perangkat tersebut lebih optimal
berbentuk jabatan fungsional yang bertugas membantu Gubernur secara sektoral
ataupun limas sektor yang serumpun seperti ahli kesehatan, ahli pendidikan,
ahli kehutanan, ahli keuangan dsb sesuai dengan "magnitude" pembinaan
dan pengawasan yang diperlukan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di daerah.
Perangkat dekonsentrasi tersebut sifatnya membantu kelancaran tugas Gubernur
untuk melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota di wilayahnya dalam melaksanakan otonominya. Pembiayaan dari
Gubernur dan perangkat dekonsentrasi yang membantunya dibebankan kepada
Pemerintah Pusat melalui APBN.
III.
Penutup
Penerapan model desentralisasi dalam pengaturan di
Indonesia menjadi sumber adanya otonomi daerah. Salah satu filosofi dari
otonomi daerah adalah semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Otonomi daerah semestinya dapat membuat masyarakat meningkat
kesejahteraannya. Hal ini tidak berlebihan karena dengan otonomi daerah
diharapkan pemerintah daerah dapat lebih
sensitif terhadap persoalan yang ada di daerahnya. Agar tujuan mulia penyerahan
sebagian kewenangan pusat kepada daerah dapat tercapai maka diperlukanlah
variabel lain yang sangat menentukan, yaitu profesionalisme dari aparatnya.
Tanpa adanya profesionalisme dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut maka
bukannya efektifitas pemerintahan yang terwujud tapi yang terjadi adalah DESENTRALISASI KORUPSI DARI PUSAT KE DAERAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar