Rabu, 24 November 2010

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP BERBAGAI MASALAH




..
    1.      Insiden Perbatasan Indonesia dengan Malaysia Tanggal 13 Agustus 2010.
Deskripsi Masalah dan Kebijakan yang Diambil Presiden
Insiden antara Indonesia dengan Malaysia kembali memanas. Malaysia kembali berulah. Insiden terjadi ketika polisi Malaysia menahan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI. Kapal Malaysia mencegat kapal patroli Indonesia saat sedang mengawal perahu Malaysia yang tertangkap mengambil ikan di perairan Indonesia.    Kapal patroli Malaysia menangkap ketiga petugas kelautan Indonesia karena Indonesia menolak melepas kapal Malaysia beserta tujuh orang krunya. Pada 17 Agustus, pihak Malaysia melepas tiga petugas Indonesia, sementara pihak berwajib Indonesia juga mendeportasi tujuh nelayan Malaysia yang tertangkap oleh ketiga petugas KKP tersebut. Sebelumnya, kebijakan penukaran tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan tujuh nelayan
Malaysia sudah tepat dalam konteks memelihara hubungan baik kedua negara.
Dalam kasus sengketa perbatasan ini pemerintah tetap berpendirian bahwa jalur perundingan antara kedua belah pihak merupakan jalan yang masih efektif ditempuh. Dalam kasus 13 Agustus ini pemerintah Indonesia  kembali mengadakan perundingan dengan pihak Malaysia karena Indonesia menganggap kita memiliki kepentingan yang besar dengan Malaysia begitu juga sebaliknya.
Indonesia dan Malaysia telah menghasilkan sejumlah kesepakatan dalam perundingan tingkat menteri luar negeri di Kota Kinabalu, Malaysia, Senin 6 September 2010.
Sejumlah kesepakatan pokok dalam pertemuan Komisi Bersama untuk Kerjasama Bilateral (JCBC) di Kinabalu tersebut antara lain:
- Menlu RI menyampaikan kembali keprihatinan mendalam Pemerintah Indonesia atas penahanan dan informasi mengenai perlakukan tidak layak kepada ketiga petugas KKP terkait dengan insiden 13 Agustus 2010. Sementara Menlu Malaysia menanggapi bahwa Pemerintah Malaysia memutuskan untuk tidak akan memberlakukan prosedur penahanan kepada petugas Indonesia.
- Kedua Menlu juga sepakat untuk menetapkan suatu SOP dan ROE bagi para petugas terkait di lapangan untuk mencegah terulangnya kembali insiden serupa di masa mendatang. Dalam kaitan ini, kedua negara telah menyepakati agar unsur sipil kedua negara yaitu Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) dari sisi Indonesia dan Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) dimasukkan dalam struktur General Border Committee yang sudah ada.
- Kedua negara juga sepakat bahwa cara yang paling efektif untuk menghindari kembali terjadinya insiden serupa adalah dengan intensifikasi perundingan delimitasi perbatasan laut yang menjadi akar permasalahan antara kedua negara, dimana kedua Menlu akan membahasnya di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB pada minggu ketiga bulan September 2010.
- Menjadwalkan perundingan perbatasan tingkat teknis ke-16 dan 17 yang masing-masing akan dilaksanakan pada 11-12 Oktober 2010 di Malaysia serta tanggal 23-24 Nopember 2010 di Indonesia.
- Untuk meningkatkan kapasitas perlindungan warga kedua negara, kedua Menlu sepakat mendorong Kelompok Kerja terkait untuk mencapai kemajuan yang substantif terhadap Letter of Intent mengenai MOU on the Recruitment and Placement of Indonesian Domestic Workers 2006.
- Indonesia telah mengajukan usulan Consular Notification and Assistance Arrangements mengenai langkah-langkah yang perlu diambil oleh kedua pihak dalam menangani keadaan dimana warga negaranya menghadapi permasalahan hukum. Pengaturan termaksud akan memperkuat mekanisme Joint Committee yang selama ini sudah ada di antara KBRI dan instansi terkait di Malaysia.
- Menyangkut 3 WNI yang sudah dijatuhi vonis hukuman mati dan saat ini menunggu permohonan pengampunan, telah diajukan keringanan hukum bagi WNI tersebut atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan hubungan baik kedua negara.

- Menekankan pentingnya pendirian dan pembentukan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) bagi anak-anak WNI usia wajib sekolah di wilayah Malaysia (Sabah). Pendirian pusat belajar tersebut sangat penting untuk memfasilitasi banyaknya anak usia sekolah WNI dapat mengenyam pendidikan yang baik. Pihak Malaysia akan melanjutkan kerjasamanya mengenai hal dimaksud.

- Pertemuan JCBC berikut direncanakan pada Desember 2010.
Analisis Kebijakan
Dari uraian masalah dan langkah yang diambil oleh Presiden SBY mengenai sengketa yang kembali terjadi denga Malaysia tampak bahwa kebijakan yang diambil masih bersifat “lunak” dengan terus “membujuk” Malaysia agar mau menyelenggarakan pertemuan bilateral guna mencari solusi terbaik.  Sebagian besar rakyat Indonesia pun spontan mengekspresikan kekecewaannya dengan aksi-aksi anarkis di dalam negeri mulai dari demonstrasi hingga pelemparan kotoran di depan Kedubes Malaysia di Jakarta. Menurut kelompok kami hal ini sangat beralasan karena langkah yang diambil sungguh ironis karena bagaimana mungkin sebuah negara yang diobok-obok/dirugikan harus terlebih dahulu meminta untuk segera berdamai. Pemerintah SBY pun dalam pidatonya terkait masalah ini beralasan bahwa kepentingan/ketergantungan kita pada Malaysia masih  sangat tinggi. Alasan SBY ini pun tidak dapat kita bantah karena sangat banyak rakyat kita yang menjadi TKI dan pelajar di sana. Pemerintah memang serba salah dalam hal ini karena posisi kita yang memang juga serba salah. Di satu pihak kita harus mempertahankan harga diri kita dan di pihak lain kita juga memikirkan nasib ribuan warga kita di sana. Dan dengan alasan pembenar inilah pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan konfrontasi militer  ke negara jiran tersebut.
Jika kita tinjau dari sisi akademik maka kebijakan pemerintahan SBY untuk melakukan Soft diplomacy (perundingan) ini dapat kita kaitkan dengan pendapat (teori) dari Graycar yang menyebutkan bahwa secara filosofis kebijakan itu adalah merupakan serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan. Pemerintah dalam hal ini menginginkan suatu keadaan negara yang aman dan tidak adanya “perang saudara” antara Indonesia dengan Malaysia. Pemerintah tidak mau warga negaranya yang berada di Malaysia menanggung imbas terkena PHK dan dipulangkan ke Indonesia dan akhirnya akan berdampak kepada menurunnya pemasukan devisa ke kas negara dan pada akhirnya kestabilan ekonomi nasional menjadi terganggu. Ditinjau dari sisi kerangka kerja, kebijakan juga menurut Graycar adalah merupakan proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya. Dalam hal ini pemerintah melakukan pertimbangan-pertimbangan resiko suatu kebijakan diambil. Resiko mana yang lebih berdampak kepada bangsa dan negara. Tapi jika kita tinjau dari sisi proses yang juga merupakan bagian dari pendapat Graycar tampaknya kebijakan yang diambil SBY tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang menginginkan harga diri bangsa harus tetap di atas segala-galanya. Karena ditinjau dari sisi proses kebijakan adalah cara bagaimana suatu negara dapat mengetahui mengetahui apa yang diharapkan rakyat darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya.
Bagaimana pun juga kebijakan pemerintah telah diambil yaitu melaksanakan perundingan bilateral walaupun oleh beberapa pihak masih menganggap hasil perundingan tersebut masih kurang memuaskan karena masih menunjukan kelemahan taktik diplomasi kita. Terlepas dari pro kontra  tersebut, pemerintah ampaknya telah berusaha maksimal dan menurut kami kebijakan tersebut tidak bisa disalahkan seratus persen karena faktanya kita masih dalam posisi yang tidak kuat. Hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah bagaimana mengurangi ketergantungan kita kepada Malaysia baik dari segi ekonomi, pendidikan, maupun hal-hal yang lain. Sehingga ketika nanti mereka berulah lagi kita bisa dengan lantang berteriak kepada mereka bahwa kita benar dan kuat.

2.      Investigasi Staf Kedutaan Besar Australia Terhadap Pelanggaran HAM Para Tahanan di Ambon oleh Densus 88.



Deskripsi Masalah dan Kebijakan yang Diambil Presiden

Masalah kedua pun muncul negeri tetangga kita, Australia. Masalah muncul ketika pemerintah Australia mengirim pejabatnya untuk menginvestigasi dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh satuan anti teror Polri. Mereka menuduh Densus 88, yang menerima bantuan dari pemerintah Australia, telah menyiksa beberapa orang tahanan politik dengan tuduhan separatis di Maluku.
Pemerintah Australia menyebutkan bahwa sejumlah anggota Detasemen 88 Anti Teror Mabes Polri melakukan penyiksaan terhadap para tersangka separatisme Republik Maluku Selatan. Australia menyatakan keberatan atas tindakan ini karena Detasemen 88 menerima dana dari Pemerintah Australia seperti yang diberitakan pemberitaan di Sidney Morning Herald. Terkait sinyalemen tersebut, Australia mengirim sejumlah pejabat untuk menyelidiki dugaan penyiksaan. Pemerintah Australia merasa berhak mengintervensi karena meresa telah mengeluarkan dana kepada Kepolisian khususnya terkait dengan Densus 88.
Dilaporkan para tahanan itu adalah orang-orang yang mencoba melakukan unjuk rasa menentang pemerintah Indonesia di sela-sela kunjungan Presiden SBY ke Ambon saat Sail Banda lalu. Tindakan 12 tahanan ini lalu dikaitkan dengan isu RMS dan separatis di Maluku. Media Australia, The Sydney Morning juga menulis bahwa Densus 88 telah menerima bantuan jutaan dolar AS setiap tahunnya untuk melawan aksi terorisme di Indonesia.
Terkait masalah tersebut pemerintah pun melalui Kabidpenum Polri Kombes Marwoto Soeto telah membantah isu penganiayan tahanan tersebut. Marwoto mengatakan bahwa Densus tidak pernah menangkap dan mengurusi tahanan politik.
Harga diri bangsa harus diutamakan, mungkin pesan ini yang seharusnya diingat oleh semua komponen dari bangsa besar seperti Indonesia ini. Ini artinya kita harus menolak semua intervensi asing terhadap bangsa Indonesia atau institusi atau kelembagaan di Indonesia. Menyikapi keinginan pemerintah Australia untuk melakukan investigasi terhadap Densus 88 yang mereka tuduh telah melakukan penganiyayaan terhadap anggota RMS patut ditolak. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Prof Hikmahanto Juwana, berpendapat, pemerintah wajib menolak rencana Pemerintah Australia mengirim pejabatnya guna memeriksa oknum Detasemen Khusus 88 yang diduga menyiksa tahanan tindak pidana separatisme.
Selain pihak yang kontra terhadap adanya upaya asing dalam mengintesvigasi dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88 di Ambon, ada juga yang merasa kebijakan pemerintah untuk menerima mereka adalah tepat dengan alasan keterbukaan dengan dunia luar terkait masalah penegakan HAM di Indonesia.
Namun mereka meminta pemerintah Australia benar-benar mencari fakta, bukan mencari pembenaran atas isu penyiksaan pada separatis ini karena biasanya isu yang diangkat itu lebih besar dari faktanya. Selain itu negara pemberi bantuan mempunyai akuntabilitas terhadap rakyatnya. Bila rakyat mereka merasa bantuan tidak digunakan semestinya maka pemerintah akan diminta untuk melakukan intervensi atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini lah yang mendasari pihak yang mendukung pemerintah untuk menerima utusan dari Australia untuk melakukan investigasi ke Maluku.
Analisis Kebijakan
Dari kebijakan yang diambil oleh SBY untuk menerima pihak luar dalam upaya investigasi terhadap adanya dugaan pelanggaran HAM oleh Densus 88 merujuk kepada adanya suatu prinsip yaitu akuntabilitas (keterbukaan) bangsa terhadap luar. Pemerintah berpendapat bahwa jika memang kita yakin bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kita kenapa kita tidak boleh membuktikan kepada Australia bahwa memang tidak ada pelanggaran HAM. Kebijakan pemerintah ini menurut kami terkait dengan pengertian kebijakan Graycar dari sisi filosofis karena adanya suatu prinsip yang diinginkan dalam implementasi kebijakan tersebut.
Tapi kelompok yang menganggap bahwa kebijakan tersebut tidak tepat karena berpegang kepada prinsip “ tidak ada makan siang yang gratis” dari negera pemberi kepada Indonesia. Prinsip yang harus dipegang adalah bantuan luar negeri akan menciptakan ketergantungan bagi Indonesia. Hal ini lah yang juga melandasi bahwa harga diri bangsa kembali terinjak-injak oleh pihak asing. Mereka juga beranggapan bahwa jutaan dolar yang diberikan oleh Australia merupakan alat untuk mengendalikan kita secara tidak langsung.
Terlepas dari kedua pendapat yang berlawanan tersebut, kami berpendapat bahwa kebijakan presiden SBY menerima pihak asing untuk melakukan pembuktian apakah pelanggaran HAM itu ada atau tidak adalah tidak sepenuhnya salah. Kita perlu membuktikan kepada dunia internasional bahwa tidak ada pelanggaran HAM di Indonesia. Namun yang perlu kami tekankan adalah bahwa pemerintah harus memahami betul isu yang menjadi pokok permasalahan. Apa motif mereka sebenarnya dalam investigasi tersebut, apakah ada motif-motif terselubung yang menunggangi investigasi ini. Jangan sampai investigasi asing ini menunjukan rentannya kedaulatan politik, ekonomi, hukum, sosial, bahkan ideologi untuk diintervensi negara pemberi bantuan.


3.      Pembatalan Kunjungan Kenegaraan Oleh Presiden ke Belanda karena Adanya Upaya Hukum RMS agar SBY Diadili.

Deskripsi Masalah dan Kebijakan yang Diambil Presiden

Masalah ketiga yang juga menyangkut harga diri bangsa adalah masalah yang muncul dari orang yang secara keturunan adalah orang Indonesia sendiri walaupun secara kewarganegaraan ia bukan lagi sebagai warga Negara Indonesia. Mereka adalah sekelompok orang di Belanda yang di komandoi oleh John Wattilete yang meminta Perdana Menteri (demisioner) Belanda JP Balkenende mengimbau Presiden SBY agar mengakhiri apa yang disebutnya sebagai pemenjaraan dan penyiksaan para pengikut RMS. Disebutkan bahwa saat ini di Maluku terdapat 90 pengikut RMS yang dipenjarakan. Wattilete juga menginginkan agar Presiden RI menjelaskan lokasi mantan Presiden RMS, Soumokil, dimakamkan. Presiden SBY beralasan kebijakan ini diambil untuk mengangkat harga diri bangsa bahwa kita sebagai bangsa yang berdaulat tidak mau diintervensi oleh pihak manapun termasuk dari kelompok separatism seperti RMS. Namun, lagi-lagi kebijakan pemerintah terkait pembatalan kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda beberapa waktu yang lalu disayangkan banyak kalangan. Pengamat hubungan internasional (HI) UGM, Drs. Riza Noer Arfani, M.A., mengatakan seharusnya Presiden SBY tidak terlalu terburu-buru membatalkan kunjungannya meskipun ada desakan dari organisasi yang menamakan dirinya Republik Maluku Selatan (RMS) yang menuntut penangkapan Presiden SBY di pengadilan di Den Haag, Belanda, terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Indonesia. Beberapa pihak pun menyayangkan keputusan presiden ini karena dengan pembatalan ini malah akan membuat harga diri bangsa menjadi pudar. Hal ini dikarenakan presiden tidak mau saja digertak begitu saja oleh kelompok separatis.


Analisis Kebijakan
Ditinjau dari pendapat Hoogwood yang menyatakan kebijakan adalah sebagai suatu ekspresi tentang tujuan umum atau kondisi yang diinginkan maka kebijakan Presiden SBY dalam membatalkan kunjungannya ke Belanda dimaksudkan yaitu untuk menjaga harga diri bangsa. Beliau mampunyai argumentasi bahwa dengan pembatalan tersebut maka akan membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia tidak mudah dan tidak mau diitervensi oleh pihak mana pun. Kebijakan yang diambil SBY ini pun bisa kita kaitkan dengan pendapat Graycar yang menyatakan bahwa dari segi kerangka kerja kebijakan merupakan suatu proses tawar-menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya. Dalam hal ini presiden merumuskan kebijakannya melalui berbagai macam alternatif pertimbangan dan akhirnya sampai kepada suatu keputusan untuk melakukan implementasi pembatalan kunjungan ke Belanda.
Implementasi tersebut berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi suatu tujuan. Dalam tahap ini presiden dimungkinkan untuk mengorganisasikan, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Mengorganisasikan berarti mengatur sumber daya, unit-unit dan metode-metode untuk melaksanakan tujuan.
Terkait dengan tepat atau tidaknya implementasi dari Presiden SBY untuk membatalkan kunjungan kenegaraannya ke Belanda kurang bisa diterima jika berdasarkan kajian akademis. Dalam Hukum Litigasi tidak mungkin dilakukan penangkapan kepala negara sahabat. proses persidangan tersebut merupakan proses biasa dalam pengadilan. Pengadilan di Belanda tersebut juga belum tentu mengabulkan tuntutan tersebut. Di samping itu, agenda di sana cukup penting sehubungan dengan pengakuan tertulis Pemerintah Belanda atas kemerdekaan Indonesia. “Informasi dari Menteri Luar Negeri, agenda di sana penting seputar pengakuan tertulis kemerdekaan Indonesia. Selain itu, juga sudah lama dijadwalkan pula. Akan sangat berharga jika dengan gagah berani Presiden SBY tetap datang ke Belanda meski bersamaan dengan jalannya sidang. Sebaliknya kebijakan pembatalan kunjungan Presiden SBY ini justru akan menaikkan posisi tawar pihak RMS dalam mencari dukungan internasional. *teguh ilham,ipdn, 18 november 2010 (tugas dari bp. Firman siagian dalam matakuliah manajemen kebijakan)

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar