Jumat, 22 Oktober 2010

Refleksi Setahun Kinerja SBY-Boediono : Sebuah Fotamorgana Keberhasilan


Setahun yang lalu masih terekam jelas di benak kita janji kampanye yang dengan lantang diikrarkan oleh duet pasangan calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan calon wakil presiden Boediono yang memberikan empat harapan perbaikan ekonomi kepada kurang lebih 200 juta penduduk Indonesia. Keempat harapan itu adalah pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi 7 persen, inflasi 5 persen, pengurangan kemiskinan menjadi 8-10 persen dan pengurangan pengangguran menjadi 5-6 persen. Harus diakui bahwa menurut banyak pengamat ekonomi bahwa pertumbuhan ekonomi makro selama setahun ini menunjukkan data yang memuaskan. Di akhir 2010 diperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen. Di samping itu rupiah juga mulai menampakkan taringnya atas dolar menjadi 8.950 per dolar dan cadangan devisa mencapai US$ 100 miliar pada akhir 2010. Daya tarik ekonomi kita pun membuat modal global (capital inflow) mengalir deras ke Indonesia sebagai dampak buruknya kondisi perekonomian beberapa negara-negara maju. Akan tetapi “uang panas” tersebut pada kenyataannya tidak menyentuh sektor riil perekonomian masyarakat. Itulah yang membuat  kita bertanya, apakah ukuran makroekonomi tersebut banar-banar prestasi pemerintah yang menyejahterakan rakyat banyak mulai dari kalangan petani bercangkul hingga pejabat berdasi, atau hanya “membahagiakan” kalangan pejabat berdasi saja?.
Di akhir masa satu tahun pengabdian pemerintah yang sedang berjalan ini mereka juga mengklaim pengangguran turun drastis hingga 7,4 persen ( data BPS). Kemudian timbul lagi pertanyaan, apa tolak ukur yang digunakan pemerintah sehingga angka pengangguran kita lebih sedikit dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang angka penganggurannya mencapai 9,5 persen, wilayah Euro 10 persen, Inggris 6,7 persen, Jerman 7,6 persen, India 10,7 persen, dan China masih 9,6 persen?. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita, apakah data ini menunjukkan tenaga kerja kita jauh lebih berkualitas daripada tenaga kerja mereka?.
Di sektor lain pun pemerintah belum pantas mendapatkan nilai delapan. Dalam hal transportasi berbagai catatan kelam telah terlanjur terukir di dalam sejarah. Hingga 31 Juli 2010 telah terjadi 32 kecelakaan kereta api dengan kecelakaan terparah antara K.A Argo Anggrek dengan K.A Senja Utama di Petarukan, Pemalang yang menewaskan 36 orang. Padahal Menteri Perhubungan Freddy Numberi begitu ambisius mencanangkan target Zero Accident di awal masa jabatannya.  Begitu juga dari sektor kehutanan. Kejahatan pembalakan liar yang terjadi di beberapa hutan di Indonesia juga masih jauh dari kata selesai. Kasus terakhir yang boleh dibilang menggelikan yaitu pernyataan yang berubah-ubah dari menteri Kehutanan kita mengenai penyebab bencana di Wasior, yang pada awalnya beliau mengklaim bahwa penyebabnya adalah karena penggundulan hutan tapi kemudian diralat menjadi bencana alam murni.  Dari segi penegakan hukum tampaknya juga perlu digaris bawahi. Masih banyak perkara hukum yang masih belum jelas ujung pangkalnya. Sebut saja masalah Lumpur Lapindo, Bank Century, kasus hilangnya ayat Tembakau, Kasus Bibit-Candra, Masalah perbatasan, Makelar Pajak Gayus Tambunan dan sebagainya. Belum lagi masalah yang berasal dari internal lembaga legislatif (DPR)   yang turut mangambil antrian untuk “diobati”.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk mencari-cari celah kesalahan SBY-Boediono. Hal ini hanya untuk mengingatkan kembali bahwa masih ada PR yang masih menunggu untuk diselesaikan oleh SBY-Boediono. Kiranya sisa waktu empat tahun tersisa sangatlah singkat untuk melakukan perubahan besar. Tapi bukankah perubahan besar itu prosesnya HARUS dimulai dari SAAT INI?. *teguh ilham, 22 oktober 2010

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar