Kamis, 27 Januari 2011

Urgensi Social Capital dalam Memperbaiki Bangsa


Dalam beberapa hari belakangan ini berbagai macam media massa di Indonesia, baik cetak maupun elektronik, nasional maupun daerah, sebagian besar headline nya memberitakan berbagai borok dan kelemahan para putra bangsa yang (konon katanya) “terbaik” dan “terpilih” dari hasil pemilihan yang paling demokratis tersebut. Sudah hampir tidak ada lagi berita gembira yang mampir di telingan kita. Rakyat sudah terlampau lelah untuk sekedar menunggu. Bagi mereka, menunggu perubahan yang datang dari elit penguasa negeri ini sama saja dengan menunggu matahari terbit dari barat.

Rakyat tidak bisa disalahkan. Sikap pesimistis sebagian besar mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan dan disesalkan karena memang will (kemauan) dari para pembesar negeri ini lah yang menggiring sikap mereka ke dalam lingkaran pesimistis akut tersebut. Rakyat seolah frustasi melihat sandiwara politik yang diperankan oleh orang-orang yang telah mereka percayai untuk diserahi amanat untuk menjadi pemimpin.
Semenjak Era Reformasi digaungkan, rakyat (sempat) bertepuk tangan dengan gembira dan penuh harapan. Semua lapisan masyarakat mulai dari buruh kasar hingga kalangan berdasi merasakan suatu euforia yang sama. Euforia kebanggaan karena angin perubahan diyakini telah mulai berhembus. Demokrasi pun menjadi sesuatu yang sangat diagung-agung kan oleh segenap anak negeri ini. Sebutan sebagai negara demokrasi terbesar sempat membuat kita merasa bangga di hadapan masyarakat internasional. Tapi setelah beberapa tahun berjalan reformasi seakan tak berbuah. Kesejahteraan tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Tingkat pendidikan masih rendah serta angka pengangguran masih tinggi dan yang lebih parah lagi tingkat penegakan hukum tidak menunjukkan adanya suatu perubahan dari Orde Baru.
Sudah lebih dari satu dasawarsa reformasi berjalan tapi tidak ada angin perubahan terutama dalam hal penegakan hukum yang dirasakan oleh rakyat. Sudah terlampau jelas bebagai macam kebohongan yang ditampilkan ke hadapan seluruh rakyat. Sudah banyak terbukti bahwa hukum banyak dipermainkan. Sudah terlampau bosan rakyat geleng-geleng kepala melihat realitas moral para petinggi bangsa ini. Begitu mudah nya mereka goyah di hadapan harta dan jabatan.
Berbagai kasus, sebut saja kasus Bank Century yang belum juga tuntas, perseteruan antara penegak hukum, manipulasi ayat dalam UU, penjatuhan hukuman ringan kepada para koruptor, hingga yang lagi hangat-hangat nya kasus Gayus Tambunan yang juga menimbulkan tanda tanya besar dari publik.  Sederet kasus tersebut merupakan segelintir bukti yang nyata mengindikasikan lemah nya penegakan hukum di negeri ini.
Sesungguhnya ada satu modal penting yang telah mereka (para elit pejabat, kalangan politikus, dan yudisial) korbankan yaitu Social Capital ( Modal Sosial) yang di dalamnya terdapat trust (kepercayaan), norm (norma), dan network (jaringan). Dalam tulisan ini yang penulis fokuskan adalah masalah ketidakpercayaan rakyat. Kepercayaan dari rakyat yang merupakan modal utama telah mereka lunturkan demi keuntungan semu. Mereka lebih memilih untuk tunduk dan membela kepentingan para Mafioso (koruptor) daripada kepentingan rakyat banyak yang notabene memegang kedaulatan negara.
Sebenarnya Social Capital merupakan suatu bagian yang sangat urgent yang harus dimiliki oleh para elit publik. Social Capital merupakan suatu jembatan antara pemerintah dengan rakyat. Kepercayaan rakyat sangat dibutuhkan dalam pembangunan bangsa selain juga demi keberlangsungan pemerintah yang sedang berkuasa. Bagaimana mungkin masyarakat bisa diberdayakan jika mereka sendiri tidak lagi percaya kepada pemimpinnya. Contoh nyata hilang nya trust dari masyarakat adalah penjatuhan Soeharto dengan paksa oleh rakyat tahun 1998. Haruskah sejarah itu terulang kembali?.
Jika pemerintah sadar, sebenarnya trust dari rakyat dapat menjadi suatu potensi dalam pembangunan dan demi kelanggengan pemerintah yang sedang berkuasa. Kenapa tidak, jika rakyat sudah percaya dan yakin dengan pemerintah nya maka mereka akan secara ikhlas untuk berpartisipasi dalam usaha pembangunan tersebut. Rakyat tidak lagi merasa keberatan membayar pajak karena mereka percaya uang mereka yang dipungut oleh negara akan benar-benar dikembalikan kepada mereka dikemudian hari. Mereka yakin uang mereka tidak akan tersangkut di dalam kantong segelintir elit.
Tampaknya Social Capital ini masih merupakan satu missing link (mata rantai yang hilang) bagi pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akhir-akhir ini sangat rendah. Ketidakpercayaan yang dimulai dari ketidakberdayaan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Pemerintah pun dianggap telah melakukan kebohongan publik dengan mengklaim telah menekan angka kemiskinan  pada tahun 2010 hingga sebanyak 31,02 juta jiwa. Seharusnya jumlah orang miskin sebanyak 70 juta jiwa berdasarkan penerima beras murah untuk warga miskin atau 76,4 juta jiwa berdasarkan penerima Jamkesmas (Tempointeraktif, 10 Januari).
Kita tidak bisa lantas menyalahkan satu atau beberapa pihak saja yang bertanggung-jawab atas kondisi ini. KKN yang merupakan penyebab utama ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah sudah menjadi budaya yang mengakar kuat menghujam sampai ke dasar-dasar birokrasi di negeri ini. Perbuatan melanggar hukum tersebut dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan tak aneh lagi karena dengan begitu mudah bisa ditutup-tutupi. Jika kita perhatikan saat ini rakyat menumpahkan segala emosinya kepada presiden. Presiden dianggap sebagai muara dari semua permasalahan negeri ini. Wajar saja jika rakyat beranggapan seperti itu karena presiden merupakan pemegang utama kebijakan pemerintah. Tapi, ada hal yang perlu kita cermati dan pahami bersama bahwa presiden juga manusia biasa yang juga mempunyai keterbatasan dalam menyelesaikan permasalahan bangsa yang begitu kompleks ini. Apa artinya presiden jika dihadapkan dengan segerombolan Mafioso yang tersebar di semua lini pemerintahan.
Sehingga pada akhirnya langkah yang perlu kita benahi saat ini adalah dengan melakukan reformasi aparatur itu sendiri bukan melulu terfokus pada reformasi perundang-undangan saja. Reformasi aparatur dapat dimulai dengan memperbaiki sistem rekrutmen para pegawai ataupun pejabat politik. Karena bagaimana keadaan suatu permulaan akan mempengaruhi bagaimana proses berjalan serta bagaimana keadaan akhir dari proses tersebut.  Sehingga jika pada proses awal saja kita telah salah maka bagaimana mungkin kita mengharapkan akan mendapatkan hasil yang baik dikemudian hari. Mustahil pemerintahan akan bersih jika para pelaku utamanya saja tidak benar.
Untuk Presiden Yudhoyono, tetaplah lakukan hal yang sekiranya terbaik bagi negeri ini. Kembalikan lah kepercayaan rakyat secepatnya sebagaimana rakyat telah memberikan kepercayaan kepada anda dua kali. Tetaplah berbuat karena masih banyak waktu hingga 2014.

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar