Rabu, 20 Oktober 2010

Pendidikan: Aset Bangsa yang Terlupakan

Siapa yang tidak kenal dengan indonesia, sebuah negara yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya. Sebuah negara yang dari dulu hingga sekarang menjadi incaran negara-negara industri. Incaran karena ketidakmampuan rakyatnya dalam mengolah kekayaan alam yang nilainya tidak akan habis hingga tujuh keturunan. Itulah Indonesia dengan segenap ketidakmampuan sumberdaya manusianya dalam mengurus sumberdaya alamnya. Rakyatnya terlena dengan nyanyian Kolam Susu, dengan tongkat kayunya yang bisa jadi tanaman. Alam yang nyaman melenakan rakyatnya hingga membuat negara kaya yang notabene alamnya tak menyediakan apapun untuk merasa terpanggil untuk ikut “membantu” rakyat Indonesia dalam “mengurus” (menurut saya mungkin lebih tepat menguras) kekayaan alam yang katanya sayang jika didiamkan saja.
Sumber Daya Manusia, itulah kata kunci nya. Mengapa kita terutama pemerintah seolah tidak begitu peduli dengan hal itu. Padahal hal itu adalah investasi dasar dan strategis bagi kemajuan bangsa. Investasi yang jauh lebih penting dari investasi di bidang pertambangan, minyak bumi, kelautan, dan sektor lain yang katanya untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal persaingan antar bangsa di era globalisasi, pendidikan merupakan kebutuhan primer bangsa. Hal itu tidak dapat kita pungkiri lagi. Keadaan di atas saya rasa cukup tepat menggambarkan keadaan Indonesia saat ini dan mungkin akan terus berlanjut jika kita terus seperti ini. Berlanjut hingga kita mau berubah.
Jika kita dalami, segala persoalan yang dihadapi bangsa kita saat ini semua bermuara pada masalah pendidikan. Kasus kecurangan Pemilu, Bank Century, Gayus, ilegal logging,dan berbagai kasus korupsi merupakan efek dari gagalnya proses pendidikan mental dan moral bangsa. Kasus penganiayaan TKI di luar negeri merupakan efek dari rendahnya kualitas pendidikan keterampilan rakyat kita. Kasus penyelenggaraan UAN yang tidak sehat dan plagiatisme di kalangan akademisi merupakan kegagalan dari pendidikan akademik kita. Ketiga komponen pendidikan tersebut lah yang membuat permasalahan bangsa kita tak kunjung usai.
Dari segi sistem pendidikan juga kita tampaknya masih tertinggal, mulai dari peraturan perundang-undangan yang senantiasa yang berubah-ubah, kurikulum pendidikan yang juga tidak konsisten yang tercermin dalam berbagai perubahan kurikulum yang pernah ada, mulai dari kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum 1984, Kurikulim 1994, KBK dan KTSP (Abd. Rachman Assegaf, 2005). Perubahan yang sering ini terkesan baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Namun akibat yang ditimbulkan nya pada kenyataannya malah menimbulkan dampak negatif yang lebih besar. Namun alih-alih mencapai sasaran, pembangunan pendidikan melalui perubahan kurikulumnya ini nampak sekedar aksi trial-error buah dari peralihan kepemimpinan di tingkat pemegang kuasa politik di Indonesia (Mustatho’, 2010).
Sudah saat nya pemerintah lebih serius lagi menangani masalah usaha peningkatan sumber daya manusia ini. Mulai dari penerbitan peraturan perundang-undangan yang pro rakyat miskin dan jauh dari pengaruh unsur politik. Jangan kita pandang sebelah mata lagi pentingnya pendidikan karena pendidikan berimplikasi besar terhadap pengembangan sektor-sektor lain. Jika mutu pendidikan kita telah maju, kita tidak perlu lagi mendatangkan tenaga ahli dari luar, kita tidak perlu lagi mengimpor barang yang sebenarnya kita bisa penuhi sendiri, dan kita tidak perlu lagi menyerahkan kekayaan alam kita untuk dikembangkan oleh negara asing. Harga diri bangsa ini tergantung bagaimana kita menghargai pendidikan itu sendiri sehingga ucapan Presiden Nixon yang pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah penghasil upeti terbesar di Asia bagi Amerika akan segera terbantahkan.(*)

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar