Rabu, 20 Oktober 2010

Perencanaan Kawasan Hijau Perkotaan yang Tepat Untuk Kota yang Ideal

“To change life, we must first change space...” (Henri Lefebvre)
Kota memang sarat dengan kehidupan yang serba cepat, lalu-lintas padat, bangunan menjulang tinggi serta asap kendaraan yang mengepul sepanjang hari. Namun jika keadaan yang menjadi ciri khas kota tersebut tidak diimbangi dengan tindakan untuk menguranginya maka kota akan menjadi neraka bagi penghuninya. Kota adalah tempat warga kota hidup dan bertinggal, tempat mereka bekerja atau belajar, bahkan kota adalah tempat untuk bermain. Kota yang ideal tidak hanya memiliki ketahanan pangan ataupun ketahanan energi semata, tetapi juga ketahanan atas udara bersih. Pertumbuhan ekonomi secara besar-besaran tidak boleh lantas mengorbankan kesehatan kota dan warga yang tinggal di dalamnya. Memang seringkali aktifitas ekonomi perkotaan sering mengorbankan kelestarian lingkungan, maka jika kita analogikan dengan tubuh manakah yang kita pilih uang berlimpah tapi tubuh sakit-sakitan atau kekayaan biasa saja tapi tubuh sehat bugar.
Kesehatan kota terutama ditentukan oleh kualitas dan kuantitas paru-paru kota khususnya Ruang Terbuka Hijau-nya. Implikasinya, harus ada kontrol dan pengendalian terhadap perubahan guna lahan dari Ruang Terbuka Hijau menjadi guna lahan untuk aktivitas ekonomi yang lebih menguntungkan. Adapun kota yang ideal (good city) menurut Kevin Lynch mengandung lima kriteria; vitality, sense, fit, access, control, dan dua meta kriteria; efficiency and justice.
Menurut Lynch, unsur ketahanan (vitality) dalam kriteria kota ideal mengandung makna bahwa sebuah kota harus mampu menunjang fungsi vital kehidupan seperti ketercukupan persediaan makanan, energi, air, udara, pembuangan sampah, yang harus selalu tersedia sepanjang waktu. Khusus untuk menjamin ketercukupan udara bersih yang diperlukan masyarakat serta menjaga keseimbangan ekosistem kota (baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain) maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 29 mensyaratkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
Mantan Presiden B.J. Habibie dalam seminar nasional bertajuk 'Tantangan Perencanaan Perkotaan Masa Depan yang Berkelanjutan dalam Mendukung Pengembangan Pemukiman' di Pendopo Departemen PU mengatakan "Yang ideal untuk ramah lingkungan penghijauan 30 persen. Untuk mandiri bisa 60 persen," (kompas, 11 oktober 2009). Ruang hijau dapat direkayasa dengan jaringan penghijauan taman kota, tempat bermain dan olahraga, kebun halaman perumahan, jalan, serta kuburan.

Semua elemen masyarakat kota harus pintar-pintar dalam menciptakan kawasan hijau di kota, kreatif dalam memanfaatkan ruang yang minim. Pemerintah khususnya pemerintah kota juga harus mengeluarkan regulasi yang kreatif untuk merangsang minat warganya dalam mewujudkan kota yang hijau ini. Partisipasi masyarakat dan LSM terkait lokasi mana saja yang layak menjadi Ruang Terbuka Hijau harus diperhatikan dengan membuka kesempatan untuk memberikan saran dan informasi kepada pembuat kebijakan (decision maker) khususnya kepada pihak-pihak yang saat ini sedang disibukkan dengan kegiatan pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW Kota) agar kawasan hijau yang akan dibangun tidak merugikan pihak manapun. Keuntungan pelibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik (planning by people)adalah meningkatnya rasa memiliki masyarakat (sense of belonging) terhadap berbagai Peraturan Daerah.
Jika keadaan kota sudah terbenahi dengan baik maka masyarakat kota akan merasa nyaman tinggal di dalamnya dan perekonomian akan semakin meningkat. Tapi pemerintah juga harus mencegah efek samping yang akan timbul, yaitu urbanisasi masyarakat desa. Ini berarti kawasan pedesaan juga memerlukan perhatian(*)

Related Posts by Categories

Tidak ada komentar:

Posting Komentar