Sabtu, 28 Mei 2011

Untuk Apa Saya di IPDN? (Antara Logika dan Hati)

Entah sudah berapa kali kalimat itu menggantung di pikiran saya. Sebuah kalimat yang mungkin dari segi struktur bahasa boleh dibilang sangat sederhana dan mudah dimengerti maksudnya. Sederhana struktur bahasanya tapi sangat sulit untuk dijawab secara jujur, itu kalau menurut saya, entah kalau orang lain. Ketika saya SMA ( saat pertama kali saya mengenal IPDN) alasan sederhana saya ingin mendaftar di sana adalah karena kuliahnya gratis. Alasan lain adalah karena ingin merantau jauh ke negeri orang (maklum saya orang minang yang suka merantau), itu pikiran anak SMA. Ketika sudah lulus SMA dan mendaftar sebagai calon praja IPDN, alasan tersebut kemudian mengalami sedikit pergeseran. Saya ingin menjadi PNS. Ya, alasan yang mengkin umum untuk semua orang karena menganggap bahwa PNS adalah pekerjaan yang mungkin dianggap aman dan tanpa “resiko”.
Saya tidak ingin munafik karena sampai tulisan ini saya ketik alasan tersebut masih melayang-layang di benak saya. Antara keinginan yang kuat untuk mendapatkan pekerjaan yang “aman” dengan tujuan luhur untuk benar-banar mengabdi kepada rakyat. Mengabdi?, banyak orang yang menganggap ini terlalu sok-sokan. Hanya omong kosong jika tujuan menjadi PNS hanya untuk mengabdi, begitu anggapan mereka, mungkin juga saya.
Tapi itu semua yang berbicara adalah akal saya, hati saya tetap berkata lain. Ia mengatakan dengan jelas bukankah fasilitas yang kita terima semua berasal dari negara yang dipungut dari pajak masyarakat. Jadi, apakah tidak wajar jika mereka meminta pengabdian kita?. Pasti kita semua  mengatakan wajar lalu kita timpali dengan kalimat penyanggah “tapi kenyataan di lapangan sangat sulit dilakukan”.
Lalu akal ini berpikir lagi, memang sulit ternyata. Buktinya banyak di antara orang-orang yang konon dahulu merupakan mahasiswa-mahasiswa yang idealis, tapi ketika telah masuk ke dunia birokrasi, apalagi politik ternyata tidak sanggup untuk mempertahankan keidealisannya. Tapi hati ini berbisik lagi, “banyak kan tidak berarti semua”. Kenapa saya tidak mencoba untuk menjadi orang yang sedikit itu?. Otakku bungkam.
Beberapa hari yang lalu, dosen saya mengajarkan tentang kenaikan pangkat PNS. Saat itu kami pun diajari tentang trik-trik untuk dapat naik pangkat secepat-cepatnya. Karena ini masalah karir ke depan, saya pun mendengarkan dengan sangat antusias sekali. Setelah mengetahui caranya, pikiran saya pun melayang untuk membayangkan betapa enaknya jika dalam usia muda sudah memiliki pangkat dan jabatan yang tinggi. Hati saya kemudian tak terima, apakah tujuan PNS adalah untuk mendapatkan pangkat dan jabatan yang tinggi?. Sebuah jawaban polos lalu terlontarkan, bukan, pangkat dan jabatan hanyalah jalan, sedangkan tujuannya adalah bermanfaat bagi masyarakat.
Di sini saya diajarkan banyak hal yang mungkin orang lain menganggapnya aneh termasuk saya ketika awal dulu. Berjalan harus menunggu yang lain untuk berbaris, ada berbagai jalan yang dilarang untuk dilewati praja (padahal jalan yang dilarang tersebut bisa menyingkat waktu untuk sampai ke tujuan), ketika berpapasan dengan senior atau pegawai lainnya harus hormat, dan masih banyak lagi yang membuat saya bingung (ketika itu). Belakangan akhirnya saya tahu banyak makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Berjalan dengan berbaris bersama-sama dengan teman ternyata dimaksudkan untuk melatih kebersamaan (kebersamaan dalam hal baik tentunya), banyak jalan yang dilarang untuk dilewati ternyata mengandung pesan agar dalam mencapai tujuan janganlah memakai “jalan pintas”, dan ketika berpapasan dengan senior atau pegawai lain harus hormat, ternyata dimaksudkan agar mempunyai sikap respek dan loyal terhadap pimpinan. Wah, masih banyak lagi sebenarnya yang ingin saya ceritakan.
Dari dulu saya masih belum menyangka bahwa saya bisa dipercaya untuk menjadi seorang anak negara yang nantinya harus mengabdikan diri secara kaffah kepada negara yang telah membesarkannya. Sekarang itu telah terjadi, saya sudah menjadi seorang praja dan tidak ada alasan untuk masih merasa “belum menyangka”. Tidak ada kata mundur karena memang sudah terlambat dan tidak perlu untuk mundur. Bagaimana nanti tergantung bagaimana persiapan saya saat ini.
Kekerasan masih ada gak? Otak dan hati ku dengan kompak menjawab “ Itu dulu”.*teguh ilham, kesatrian IPDN.

Related Posts by Categories

7 komentar:

  1. subhanallah..
    tetap istiqomah dgn niatnya diks..
    pertiwi menunggu peluhmu. :D

    BalasHapus
  2. terimakasih kak,insyaallah saya konsisten dg apa yg telah saya tulis kak..
    oia kak,, ini alamat blognya prof sadu kak http://www.ipdn.ac.id/wakilrektor/
    maaf atas keterlambatannya ya kak..

    BalasHapus
  3. haduh....sangat bijak banget jawaban kakak praja....good luck ya..........moga selalu bisa mengharumkan bangsa ini

    BalasHapus
  4. nurhiqmah " amiinnn.. semoga kita semua bisa menunjukkan yang terbaik bg bangsa ini yaa.. :)

    BalasHapus