Add caption |
Masih terekam jelas dalam fikiran kita kasus yang
menimpa Ny. Siami dan keluarganya. Kasus yang bermula ketika anak nya, Al,
siswa SDN Gadel 2 Surabaya mencoba untuk mempraktekkan nilai-nilai kejujuran
yang saya sangat yakin sekali bahwa nilai-nilai
tersebut ia dapat kan juga dari guru di sekolah tersebut ketika ia diajarkan
Pendidikan Agama, Ilmu Sosial, Budi Pekerti, atau pun pelajaran yang lainnya.
Nuansa ironisme sungguh sangat kental terasa ketika sang murid dengan polosnya
mencoba untuk mengaplikasikan ilmunya di dalam kehidupannya yang nyata, bukan
sebatas tahu tentang teori-teori kejujuran belaka. Tapi ternyata tindakan nya
mendapatkan resistensi. Di sinilah letak ironisnya, resistensi dari sang guru,”
malaikat” yang dikirim tuhan untuk membuat Al dan teman-temannya menjadi
manusia yang seutuhnya.
Tidak cukup sampai di situ. Resistensi yang didapatkan
oleh Al juga berasal dari teman-teman dan masyarakat sekitar sekolahnya. Cacian,
makian, hinaan lengkap diterimanya. Apakah ia dicaci karena salah?. BUKAN. Ny.
Siami dan keluarganya dicaci maki karena tindakan yang dilakukan Al dianggap
“aneh”. Aneh karena berbeda. Berbeda dengan tindakan dan pola pikir masyarakat
kebanyakan. Jika masyarakat kebanyakan menganggap kelulusan Unas adalah
segala-galanya bagi anak mereka dan pihak sekolah menganggap bahwa tingkat
kelulusan tinggi adalah segala-galanya bagi pencitraan sekolah mereka maka wajar
mereka menganggap tindakan Al harus dihentikan. Al dianggap sebagai tersalah
dan ibunya dituntut untuk harus meminta maaf kepada mereka secara terbuka. Aneh
bukan?. Aneh memang.
Sedikit pun tak pernah dipikiran saya untuk memojokkan
profesi guru, karena memang guru tidak layak untuk dipojokkan tetapi harus di
hargai. Tidak semua guru seperti itu. Hanya segelintir oknum lah yang tidak
memahami fungsinya sebagai guru. Pun juga saya tidak mau untuk menyalahkan
segelintir oknum guru tersebut karena bisa saja faktor keadaan yang memaksa
mereka untuk melakukan hal itu.
Adalah suatu hal yang sanggat menggelikan jika kita
melihat dan mendengar di berbagai media, rakyat berbondong-bondong menghujat
dan mengkritisi berbagai macam kasus tindakan korupsi yang dilakukan oleh
pemerintah. Mereka menyebut para koruptor itu tidak bermoral. Koruptor sangat
merusak bangsa. Tapi, tidakkah mereka sadar bahwa para koruptor tersebut
dihasilkan dari lembaga pendidikan yang mereka tempuh ataupun dari lingkungan
di mana ia tinggal. Saya bukannya bermaksud mengeneralisir bahwa sikap sebagian
warga Jl Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Surabaya itu merupakan
representasi dari seluruh rakyat Indonesia yang kata para guru kita adalah
negara yang terkenal dengan budi luhur rakyanya.
Pemerintah sebagai pemegang otoritas untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga secara
emosional dan spiritual harus mampu untuk menangkap apa yang menjadi penyebab
utama meluasnya perubahan pola pikir masyarakat ini. Apakah sistem Ujian
Nasional nya yang perlu diperbaiki, kurikulum yang harus diperbaharui, ataupun
hal-hal lain yang bersifat mendasar yang perlu ditata-ulang. Pesan saya kepada pemerintah, segera
selesaikan polemik ini. Pecahkan masalah ini sampai ke akar-akarnya karena
masalah ini sangat urgent. Namun,
sebelum melempar solusi kepada masyarakat, perbaiki dulu moral anda sekalian. Prajailham@lembahmanglayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar