Dalam
beberapa hari belakangan ini berbagai macam media massa di Indonesia, baik
cetak maupun elektronik, nasional maupun daerah, sebagian besar headline nya memberitakan berbagai borok
dan kelemahan para putra bangsa yang (konon katanya) “terbaik” dan “terpilih”
dari hasil pemilihan yang paling demokratis tersebut. Sudah hampir tidak ada
lagi berita gembira yang mampir di telingan kita. Rakyat sudah terlampau lelah
untuk sekedar menunggu. Bagi mereka, menunggu perubahan yang datang dari elit
penguasa negeri ini sama saja dengan menunggu matahari terbit dari barat.
Rakyat
tidak bisa disalahkan. Sikap pesimistis sebagian besar mereka tidak bisa
sepenuhnya disalahkan dan disesalkan karena memang will (kemauan) dari para pembesar negeri ini lah yang menggiring
sikap mereka ke dalam lingkaran pesimistis akut tersebut. Rakyat seolah
frustasi melihat sandiwara politik yang diperankan oleh orang-orang yang telah
mereka percayai untuk diserahi amanat untuk menjadi pemimpin.
Semenjak
Era Reformasi digaungkan, rakyat (sempat) bertepuk tangan dengan gembira dan
penuh harapan. Semua lapisan masyarakat mulai dari buruh kasar hingga kalangan
berdasi merasakan suatu euforia yang sama. Euforia kebanggaan karena angin
perubahan diyakini telah mulai berhembus. Demokrasi pun menjadi sesuatu yang
sangat diagung-agung kan oleh segenap anak negeri ini. Sebutan sebagai negara
demokrasi terbesar sempat membuat kita merasa bangga di hadapan masyarakat
internasional. Tapi setelah beberapa tahun berjalan reformasi seakan tak
berbuah. Kesejahteraan tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Tingkat
pendidikan masih rendah serta angka pengangguran masih tinggi dan yang lebih
parah lagi tingkat penegakan hukum tidak menunjukkan adanya suatu perubahan
dari Orde Baru.
Sudah
lebih dari satu dasawarsa reformasi berjalan tapi tidak ada angin perubahan
terutama dalam hal penegakan hukum yang dirasakan oleh rakyat. Sudah terlampau
jelas bebagai macam kebohongan yang ditampilkan ke hadapan seluruh rakyat.
Sudah banyak terbukti bahwa hukum banyak dipermainkan. Sudah terlampau bosan
rakyat geleng-geleng kepala melihat realitas moral para petinggi bangsa ini.
Begitu mudah nya mereka goyah di hadapan harta dan jabatan.
Berbagai
kasus, sebut saja kasus Bank Century yang belum juga tuntas, perseteruan antara
penegak hukum, manipulasi ayat dalam UU, penjatuhan hukuman ringan kepada para
koruptor, hingga yang lagi hangat-hangat nya kasus Gayus Tambunan yang juga
menimbulkan tanda tanya besar dari publik. Sederet kasus tersebut merupakan segelintir
bukti yang nyata mengindikasikan lemah nya penegakan hukum di negeri ini.
Sesungguhnya
ada satu modal penting yang telah mereka (para elit pejabat, kalangan
politikus, dan yudisial) korbankan yaitu Social
Capital ( Modal Sosial) yang di dalamnya terdapat trust (kepercayaan), norm (norma),
dan network (jaringan). Dalam tulisan
ini yang penulis fokuskan adalah masalah ketidakpercayaan rakyat. Kepercayaan
dari rakyat yang merupakan modal utama telah mereka lunturkan demi keuntungan
semu. Mereka lebih memilih untuk tunduk dan membela kepentingan para Mafioso
(koruptor) daripada kepentingan rakyat banyak yang notabene memegang kedaulatan
negara.
Sebenarnya
Social Capital merupakan suatu bagian
yang sangat urgent yang harus
dimiliki oleh para elit publik. Social
Capital merupakan suatu jembatan antara pemerintah dengan rakyat.
Kepercayaan rakyat sangat dibutuhkan dalam pembangunan bangsa selain juga demi
keberlangsungan pemerintah yang sedang berkuasa. Bagaimana mungkin masyarakat
bisa diberdayakan jika mereka sendiri tidak lagi percaya kepada pemimpinnya.
Contoh nyata hilang nya trust dari
masyarakat adalah penjatuhan Soeharto dengan paksa oleh rakyat tahun 1998.
Haruskah sejarah itu terulang kembali?.
Jika
pemerintah sadar, sebenarnya trust dari
rakyat dapat menjadi suatu potensi dalam pembangunan dan demi kelanggengan
pemerintah yang sedang berkuasa. Kenapa tidak, jika rakyat sudah percaya dan
yakin dengan pemerintah nya maka mereka akan secara ikhlas untuk berpartisipasi
dalam usaha pembangunan tersebut. Rakyat tidak lagi merasa keberatan membayar
pajak karena mereka percaya uang mereka yang dipungut oleh negara akan benar-benar
dikembalikan kepada mereka dikemudian hari. Mereka yakin uang mereka tidak akan
tersangkut di dalam kantong segelintir elit.
Tampaknya
Social Capital ini masih merupakan
satu missing link (mata rantai yang
hilang) bagi pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah akhir-akhir ini sangat rendah. Ketidakpercayaan yang dimulai
dari ketidakberdayaan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
bangsa. Pemerintah pun dianggap telah melakukan kebohongan publik dengan
mengklaim telah menekan angka kemiskinan
pada tahun 2010 hingga sebanyak 31,02 juta jiwa. Seharusnya jumlah orang
miskin sebanyak 70 juta jiwa berdasarkan penerima beras murah untuk warga
miskin atau 76,4 juta jiwa berdasarkan penerima Jamkesmas (Tempointeraktif, 10
Januari).
Kita
tidak bisa lantas menyalahkan satu atau beberapa pihak saja yang
bertanggung-jawab atas kondisi ini. KKN yang merupakan penyebab utama
ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah sudah menjadi budaya yang mengakar
kuat menghujam sampai ke dasar-dasar birokrasi di negeri ini. Perbuatan
melanggar hukum tersebut dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan tak aneh
lagi karena dengan begitu mudah bisa ditutup-tutupi. Jika kita perhatikan saat
ini rakyat menumpahkan segala emosinya kepada presiden. Presiden dianggap
sebagai muara dari semua permasalahan negeri ini. Wajar saja jika rakyat
beranggapan seperti itu karena presiden merupakan pemegang utama kebijakan
pemerintah. Tapi, ada hal yang perlu kita cermati dan pahami bersama bahwa
presiden juga manusia biasa yang juga mempunyai keterbatasan dalam
menyelesaikan permasalahan bangsa yang begitu kompleks ini. Apa artinya
presiden jika dihadapkan dengan segerombolan Mafioso yang tersebar di semua
lini pemerintahan.
Sehingga
pada akhirnya langkah yang perlu kita benahi saat ini adalah dengan melakukan
reformasi aparatur itu sendiri bukan melulu terfokus pada reformasi
perundang-undangan saja. Reformasi aparatur dapat dimulai dengan memperbaiki
sistem rekrutmen para pegawai ataupun pejabat politik. Karena bagaimana keadaan
suatu permulaan akan mempengaruhi bagaimana proses berjalan serta bagaimana keadaan
akhir dari proses tersebut. Sehingga
jika pada proses awal saja kita telah salah maka bagaimana mungkin kita
mengharapkan akan mendapatkan hasil yang baik dikemudian hari. Mustahil
pemerintahan akan bersih jika para pelaku utamanya saja tidak benar.
Untuk
Presiden Yudhoyono, tetaplah lakukan hal yang sekiranya terbaik bagi negeri
ini. Kembalikan lah kepercayaan rakyat secepatnya sebagaimana rakyat telah
memberikan kepercayaan kepada anda dua kali. Tetaplah berbuat karena masih
banyak waktu hingga 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar