Sabtu, 12 November 2011

Ini Kisah Ku, Tentang Mereka dan Dia

Ya Allah,,, sudah 8000 lebih hari ku lalui di dunia Mu ini. Sudah tak terhitung udara Mu yang ku hirup. Sudah tak terbilang air Mu ku zat surgawi Mu yang  mengendap di tubuh ini. Tanpa jeda, tanpa pernah berhenti, setidaknya hingga detik ini.
 5 tahun pertama perjalanan hidup ku..                                                                      
Tangisan pertama ku memancing air mata bunda ku. Ayah ku dengan tangannya yang kekar langsung menyambut ku dengan mimik penuh kebahagiaan. Suara azan pertama yang diperdengarkan kepada ku begitu indah dan menenangkan. Seorang anak manusia telah datang. Ayah ku memberi nama sang pendatang baru dengan Teguh Ilham, nama yang ku pakai hingga sampai saat ini.
Mereka ajarkan aku makan dan minum. Dengan sabar mereka latih aku merangkak, berjalan, dan berlari. Ku bangunkan ibu tengah malam. Ku merengek ketika ayah sedang bekerja. Mereka tak marah. Mereka tahu Ilham mereka baru lima tahun.
5 tahun kedua perjalanan hidup ku...
Gigi susu ku mulai lepas. Aku menangis. Ibu menenangkan ku. “Ntar lagi tumbuh kok gigi baru mu yang lebih bagus il”, bujuk ibu sambil memegang kedua pipi ku.
Libur panjang datang..
Ini bukan liburan ku karena aku belum bersekolah,, ini adalah liburan nya kakak ku, mama ku, papa ku,  dan bibi ku. Seperti biasa, bibi ku yang ngajar SD di Kota Duri pulang kampuang. Dua minggu di rumah, membuat ku begitu dekat dengan beliau. Hingga suatu hari ketika beliau akan balik ke Duri saya menangis agar diajak “pergi”. Semua heran, kenapa ilham kecil lebih memilih untuk merantau lebih cepat. Tak ada hal lain yang ku pikirkan selain harus ikut dengan bibi ke kota yang jaraknya tujuh jam perjalanan dengan menggunakan bis itu. Tidak juga ku perhatikan ternyata ibu ku meneteskan air mata ketika aku bersiap-siap untuk memilih tinggal dengan bibi.
Jadilah aku mulai bersekolah di Kota Duri yang panas nya begitu manyengat. Aku begitu dekat dengan bibi dan paman. Tak terfikirkan sedikit pun untuk segera pulang kampung ke Bukittinggi. Aku sangat dimanjakan oleh mereka, seolah menjadi anak tunggal di sana karena mereka belum dikaruniai anak.
Sebentar lagi aku hampir menyelesaikan TK ku. Surat datang dari Bukittinggi, dari orang tua ku ternyata. Mereka menyuruh ku untuk melanjutkan SD di kampung karena khawatir kalau pergaulan di sana tidak bagus bagi ku.
                   Aku menolak sebenarnya, namun bibi ku merayuku agar mau untuk pulang dan melanjutkan pendidikan di kampung. Dengan berat hati aku iyakan. Aku pun pulang.
                   Aku kembali ke pangkuan orang tua ku. Aku kembali bergabung dengan uni dan adek ku Ririn (yang lain belum lahir). Aku mulai menyesuaikan kehidupan ku dengan mereka. Tidak ada lagi yang membelikan ku es krim tiap hari, tidak ada lagi yang memberi ku uang jajan berlebih tiap hari. Aku harus menyesuaikan dengan kehidupan orang tua ku yang ketika itu ku anggap begitu keras. Aku tidak dimanja kesimpulannya. Walaupun demikian ada perasaan beda ketika aku tinggal dengan mereka. Ada kehangatan lain yang tidak pernah ku dapatkan ketika tinggal dengan siapapun.
                   Aku, termasuk juga saudara ku yang lain diwajibkan mengaji setelah maghrib dan dipaksa untuk belajar setelah nya. Begitu “keras” nya mereka, terlebih ibu membuatku tidak ada kesempatan untuk mengatakan malas untuk belajar karena pernah ku coba moratorium kegiatan mengaji dan belajar malam, yang ku dapatkan adalah wajah marah dan teriakan yang tak perlu dari mulut ibu ku. Tidak ada pilihan lain. Lebih baik aku melakukan rutinitas seperti biasa ketimbang harus menghadapi situasi tidak lazim tersebut.
                   Aku mulai “ber SD”di tempat kelahiran ku. Tak butuh banyak waktu bagi ku untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana, termasuk bahasa. Karena di Riau aku tetap berinteraksi dengan bahasa Minang. Prestasi terbilang naik turun karena dari kelas satu sampai kelas dua aku dapat juara dua. Dari kelas tiga sampai kelas empat aku tidak pernah mendapat kan juara karena aku tak menyukai wali kelas ku. Beliau terlalu subjektif dalam mengajar. Beliau lebih cenderung “baik” kepada siswa perempuan dibandingkan siswa laki-laki, termasuk aku. Untung waktu itu aku belum kenal istilah pedofilia. Banyak dari kami yang tidak senang dengan guru tersebut, termasuk saya.
                   Rasa ketidaksenangan ini pun kami implementasikan dengan merusak motornya, ku ajak seorang teman untuk mencari ide buat mengerjai guru yang tidak ku senangi tersebut. Akhirnya sebuah ide terontar, kami akan merusak motornya. Aksi tersebut dimulai dari menancapkan paku di ban hingga memasukkan pasir dan kerikil ke dalam knalpot motor beliau. Aku bangga? ya, waktu itu aku sangat bangga dan puas. Tapi sekarang tidak, aku sangat menyesal, mengapa tindakan ku sebodoh itu. Masih terbayang di benak ku betapa sedihnya wajah bapak itu ketika melihat motor tua nya tidak bisa jalan.
                   Kelas lima dan enam keadaan berbalik 180 derajat. Wali kelas berganti. Aku pun mulai semangat belajar. Nilai ku pulih, bukan perlahan, tapi drastis. Aku selalu mendapat juara pertama, menggeser posisi sang juara pertama bertahan dari kelas satu.
5 tahun ketiga perjalanan hidup ku
                   Umur ku sudah dua belas tahun. Aku duduk di bangku kelas enam SD. Prestasi ku lumayan bagus. Semangat belajar ku pun sangat tinggi. Aku ingin lulus dengan nilai terbaik, dan aku memang lulus dengan nilai yang sangat baik.
                   Lulus SD saat nya memikirkan kelanjutan sekolah ku. Ada tiga pilihan sekolah sebenarnya. Pertama SMP yang baru dibangun, jaraknya lumayan dekat dengan rumah ku. Kedua, MTs yang jaraknya dua kali lebih jauh dari SMP yang pertama. Terakhir, SMP tempat orang tua ku mengajar, tapi jaraknya sekitar lima kali lebih jauh dari SMP yang pertama. Aku bingung dalam memilih dimana aku harus melanjutkan pendidikan ku karena ketiganya memiliki kekurangan dan kelebihan. Aku bingung, tapi tidak dengan orang tua ku. “kamu harus sekolah di MTs,” itu kata mereka. Alasan mereka sebenarnya cukup logis (menurut mereka). Kalau aku sekolah di SMP baru dekat rumah, pasti kualitas pengajar dan fasilitasnya belum lengkap. Kalau aku sekolah di SMP tempat mereka mengajar, selain jaraknya jauh (karena  haram hukum nya bagi ku sewaktu SMP memakai motor) mereka juga tidak mau jika ada pihak lain yang salah sangka kalau jika nanti nilai ku bagus. Akhirnya ku tahu kesimpulan nya. Aku disuruh untuk bersekolah di MTs. Alasan mereka sangat mulia sekali, biar bekal agama ku banyak. Dengan berat hati pun ku iyakan mereka, tapi dengan syarat, jika nanti aku lulus, biarkan aku untuk memilih SMA sebagai tempat ku sekolah.
                   Masa-masa MTs ku pun berjalan terasa agak berat. Selain aku harus belajar ilmu umum, aku pun harus belajar ilmu agama. Harus menghapal ayat-ayat alqu’an dan hadits, harus mempelajari Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan sebagai nya. Ingin rasanya cepat menyelesaikan MTs dan segera masuk SMA.
                   Aku mulai tertarik dengan lawan jenis. Tapi aku tidak pacaran. Hanya sebatas suka dan teman dekat saja karena pacaran agak tabu di keluaga termasuk di sekolah ku. Malas saja kalau aku kena “semprot” sama ibu atau guru agama ku.
                   Mendekati akhir masa MTs, aku berusaha untuk belajar dengan serius agar lulus dengan baik dan dapat masuk sekolah unggulan di pinggir Danau Maninjau, unggul dan gratis kata nya. Aku mulai serius belajar dengan orang tua ku. Aku pun sering belajar bersama dengan seorang teman dekat ku yang sekolah di SMP dekat rumah. Terkadang dia sering menginap di rumah ku jika kami belajar hingga larut malam. Belajar memang butuh selingan. Dari dia lah saya “mengenal” rokok dan mencicipinya. Fuuuhh.. asal mengepul di kamar ku.
5 tahun ke empat perjalanan hidup ku...
                   Saya lulus pun dengan nilai terbaik. Rencana untuk masuk sekolah unggulan itu pun semakin ku matang kan. Aku yang takut mengambil resiko akhir nya mendaftar terlebih dahulu di SMA lain di kecamatan ku. Aku dinyatakan lulus di sana dengan rangking ke 33. Saya sudah aman di sana. Tinggal melanjutkan tujuan utama saya, yaitu mendaftar di SMA Negeri Agam Cendekia. Brosurnya ku cek lagi. Astaga, ternyata hari itu adalah hari terakhir pendaftaran gelombang ke dua. Aku pun sempat bingung dan ragu untuk mendaftar di sana karena butuh tiga jam perjalanan ke sana dan saya belum ada persiapan apa-apa untuk mengikuti tes selama tiga hari di sana. Tapi tidak dengan ibu ku. Beliau meyakinkan ku. “Kita harus segera berangkat sekarang!!,” begitulah ibu ku meyakinkan ku untuk segera berkemas-kemas dan segera berangkat. Beliau juga meninggalkan pekerjaannya, berkemas-kemas, dan mengajak ku pergi saat itu juga. Semangat sekali ibu ku.
                   Untuk mencapai angkot kami harus berjalan melewati pematang sawah yang lumayan panjang. Setelah berada di seberang kami pun menunggu angkot yang baru datang 15 menit kemudian. Angkot bergerak perlahan dan setangah jam kemudian sampai di Kota Bukittingi. Turun dari angkot naik lagi bis jurusan Lb. Basung. Saat kami naik, ternyata bis masih kosong dan harus menunggu dulu sampai penuh atau agak penuh. Setengah jam kemudian bis melaju perlahan dan mulai cepat ketika berjalan menuruni kelok 44. Dari atas kelok ku lihat indah nya Danau Maninjau. Ku coba memfokuskan lensa mata ku ke setiap detil pinggiran danau, mencoba menemukan calon sekolah ku. Tidak jelas, terlalu jauh ternyata. Bis sampai di kelok paling bawah. Bis mulai menyusuri pinggir danau. Terus melaju dengan kecepatan maksimal. Ibu ku berkali-kali mengingat kan sopir bis untuk menurunkan kami di SMA yang kami tuju. Akhirnya berhenti juga bis itu tepat di depan gerbang SMA tujuan kami. di gerbang masuk terpampang jelas spanduk kira –kira inti tulisannya mengatakan selamat datang kepada calon siswa (ga ada siswi) dan menyebutkan gratis biaya pendidikan selama tiga tahun. Kalimat terakhir lah yang menjadi motivasi ku, mungkin juga ibu ku.
                   Tak berfikir panjang, kami langsung mencari kantor TU untuk segera mendaftarkan diri. Alhamdulillah masih bisa. Setelah mengecek nilai raport dan ijazah ku dicek dan dinyatakan lulus administrasi karena rata-rata ku di atas tujuh aku pun segera di arahkan untuk menempati asrama bagi calon siswa. Ketika melewati lorong TU, aku melihat di kanan ada sebuah etalase yang di dalam nya ada beberapa patung yang memakai pakaian seragam. Ada yang memakai PDU, PDH, Pramuka, baju olahraga, dan baju koko. Keren, begitu batin ku saat itu. Aku masih ingat. Aku pertama kali ditempat kan di Asrama Merapi. Setelah semua beres, ibu ku pun pulang dan mengatakan akan kembali lagi besok subuh ke sini untuk melengkapi keperluan ku di asrama.
                   Besok subuh ku lihat ibu ku sudah ada di kampus. Tak bisa ku bayangkan jam berapa ia berangkat dari rumah. Banyak barang yang beliau bawakan. Satu benda yang paling ku ingat sampai saat ini, yaitu selimut tebal berwarna ungu bermotif kembang berwarna merah jambu. Selimut yang selalu setia menemani ku selama pendidikan tiga tahun di sana dan tiga tahun di IPDN. Tidak sampai empat tahun di IPDN, selimut kesayangan ku terpaksa harus ku lihat dibakar di depan 700 orang Nindya Praja ketika apel pagi di Pelataran Menza –disidak pengasuh karena warna nya terlalu nyentrik-.
                   Tes ku lalui dengan serius karena tidak mau mengecewakan orang tua, terutama ibu. Tiga hari diisi dengan tes kesamaptaan, tes kesehatan, psikotes, dan tinjauan agama. Semua ku lalui dengan baik, menurut ku. Setelah tes aku pun pulang dan kembali seminggu lagi untuk mengecek apakah aku lulus atau tidak.
                   Seminggu kemudian aku kembali ke kampus idaman ku untuk mengecek kelulusan ku. Telunjuk ku menelusuri satu per satu daftar nama-nama yang lulus dari atas sampai ke bawah. Tidak ada nama yang membuat ku terhenti, nyaris habis. Tapi alhamdulillah akhirnya nama ku tertulis manis di deretan belakang. Tak apalah, yang penting lulus.
                   Hari-hari di Agam Cendekia ku lalui dengan berat. Belum lagi dengan kegiatan belajar di kelas yang membuat ku mual sampai kegiatan pembinaan yang membuat ku muntah. Saya capek. Masa muda ku hilang. Ingin keluar?. Sangat. Baru satu semester pertama saya sudah ingin cepat-cepat lulus dan segera melanjutkan ke SMA lain. Ku ungkapkan keinginan itu kepada orang tua. Hanya kalimat singkat yang ku dapatkan, “sabar, sebentar lagi juga terbiasa kok,”. Ah, tidak mempan ternyata jika diomongkan baik-baik dengan mereka. Ku cari jalan lain. Ketika ujian tiba, ku usahakan untuk tidak berfikir keras dan hanya menjawab seadanya. Bahkan ada soal yang ku tahu jawabannya tapi tak ku jawab. Tujuan ku cuma satu, tolong DO saya. Rapor pertama ku terima. Ah, sial. Kenapa saya masih lulus.
                   Orang tua selalu mengingat kan ku agar sabar di sana. Tak ada pilihan lain selain menunggu kesempatan DO semester depan. Semester dua pun ku lalui. Saya mulai terbiasa dengan kesusahan di sana. Terbiasa dengan harus belajar sampai larut malam bersama teman-teman ku yang otak nya cemerlang. Terbiasa berbaris kemana pun pergi. Terbiasa dengan kegiatan ekskul wajib setiap sore dan malam minggu.
                   Waktu terus berjalan. Banyak sudah cerita suka dan duka ku ukir di sana. Tidur di kelas, lari pagi sambil teriak-teriak, melihat teman pura-pura pingsan padahal tidur di pinggir jalan saking mengantuknya ketika lari pagi. Menyaksikan teman harus diberdirikan di atas meja ketika makan siang dengan handuk terlilit di kepala karena meletakkan handuk sembarangan. Dan ketika saya disuruh membaca sebuah contekan yang berisi tulisan yang super kecil di depan seluruh siswa ketika ada teman yang terjaring razia kerpean. Hingga ketika saya digosipkan terlibat cinta segiempat dengan seorang adek kelas. Ah, hanya benturan yang super keras di kepala yang dapat membuat saya melupakan kejadian itu.
                   Tak terasa keinginan untuk di DO terkubur dalam. Semangat belajar ku bangkit. Tak ku sangka disemester lima saya mendapatkan juara tiga. Sulit dipercaya. Ujian nasional semakin dekat. Tanggal kami hitung mundur. Malam-malam terakhir di Danau Maninjau kami isi dengan belajar. Tidak perlu les kesana-kemari karena di asrama ada yang ahli Kimia, ahli Fisika, ahli Biologi, ahli Matematika, ahli Bahasa Indonesia, dan ahli Bahasa Inggris. Sedangkan saya ahli bertanya kepada mereka.
                   Ujian nasional datang. Kami semua siap untuk ujian. Saya sudah siap dengan senjata-senjata sekaligus peluru nya. Dengan teliti saya baca semua soalnya. Semua soal dapat saya mengerti dengan jelas maksud pertanyaannya, tetapi tidak dengan jawabannya, terutama ketika ujian Matematika. Yah, karena memang saya tidak suka dengan pelajaran hitung menghitung terpaksa saya menempuh jalur yang salah, yaitu meminta sedikit “masukan” dari ahli nya.
Hasil UAN pun diumumkan. Alhamdulillah lagi, kami semua lulus 100 persen.
Perpisahan pun datang.
                   Jika dulu ibu yang mengantarkan ku ke sana untuk pertama kalinya, sekarang ayah lah yang datang untuk menjemput ku. Terlihat wajah bangga dari wajah ayah. Beliau memelukku. Aku menciumnya.
                   Perpisahan kami diliputi oleh suasana sangat haru. Kami tak ingin berpisah tapi perpisahan ini harus. Berpisah dengan guru-guru yang sangat baik, pembina-pembina yang sangat tegas, pegawai TU yang ramah, teman-teman yang bersahabat, dan setiap sudut kampus yang menyenangkan.
                   Acara sedih-sedihan sudah selesai. Saat nya memikirkan kelanjutan pendidikan. Saya mulai mencari informasi di sana sini. Terkumpul lah beberapa target, yaitu IPDN, STAN, STIS, UI, UNJ, UNP, dan UNRI. Target pertama yaitu mengikuti UMB untuk mengejar UI dan UNJ, hasilnya UMB gagal. Target selanjutnya adalah mengkuti tes IPDN. Pada tes ini lah sangat terasa betapa berat dan berliku perjuangan yang ku hadapi. Berbulan- bulan ku lewati dengan perasaan bimbang dan cemas, cemas sekiranya ku gagal ketika di penghujung tes. Hanya satu alasan yang membuat ku tak mengambil langkah surut dalam mengikuti seluruh tes yaitu ibu. Ku lihat betapa gigih nya beliau mendukung ku untuk mengikuti tes. Ketika kami tahu bahwa peserta tes yang mendaftar di Kota Bukittinggi sudah sangat banyak, yaitu mencapai 400 orang lebih dan ada kebijakan pemda untuk memangkas nya menjadi setengah melalui tes wawancara di balaikota, ibu lah yang pertama meyakinkan ku untuk tetap ikut tes. Satu hal pesan yang selalu ku ingat dari nya, “kamu harus nekat”. Dengan setia beliau menemani ku menunggu antrian untuk di wawancara. Berjam-jam sudah waktu berlalu. Kami yang datang dari jam dua siang ternyata mendapat giliran wawancara jam 11 malam. Betapa setia nya ibu menemani ku walau ku lihat tubuh lelah nya yang dipaksakan untuk sekedar menemani ku dan memberikan semangat bagi aku anaknya, yang katanya anak laki-laki kebanggan nya. Wawancara yang hanya lima menit selesai tapi masalah belum selesai karena besok pagi aku harus mengikuti UMB hari kedua di Padang. Tengah malam, mana ada angkutan umum lagi dari Bukittinggi ke Padang. Aku pasrah, tapi tidak dengan ibu ku. Dia sibuk bertanya kepada setiap orang tua peserta barangkali ada juga yang ingin pergi ke Padang untuk mengantarkan anak nya UMB. Dan akhirnya alhamdulillah, ibu ku menemukan orang nya. Aku pun dapat tumpangan ke Padang. Ibu pun bersikeras untuk ikut mengantarkan ku sampai ke Padang. Apa boleh buat, walaupun ku katakan tidak usah ikut kepada ibu, beliau tetap memaksa untuk ikut.
                   Hingga ku lalui semua tes IPDN dengan baik dan akhirnya dilantik sebagai muda praja. Hari pelantikan ku lalui tanpa mereka. Tak apa, aku juga tidak pernah memaksa mereka untuk menghadiri pelantikan ku. Ku tahu masih banyak pekerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan di sana. Biarlah mereka hadir nanti ketika aku lulus setahun lagi, aku yang akan mengurus semua keperluan mereka di sini. Akan ku buktikan kepada mereka bahwa aku sudah mandiri. Akan ku buktikan kepada mereka bahwa mereka sudah berhasil mendidik ku.
                   Tidak ada yang ku bangga kan di IPDN selain kebanggan ku mempunyai mereka yang ku sayangi, terutama orang tua ku. Selalu mereka mengingatkan ku untuk tidak menggunakan uang yang mereka beri untuk membeli rokok dan selalu berhati-hati dalam bergaul dengan wanita di sini. Aku sadar mereka sangat takut jika nanti aku menjadi brengsek ketika jauh dari mereka. Masih jelas terekam di benakku betapa susah nya mereka menahan air mata ketika ku serahkan gaji dua bulan pertama ku kepada mereka. Betapa bangganya aku ketika mereka mengatakan uang yang ku berikan akan mereka tabung untuk tambahan biaya naik haji mereka. Hmm.. kali ini aku yang susah menahan air mata. J
                   Tapi begini lah aku tiga tahun ini. Aku tidak selalu seperti Teguh Ilham yang baik seperti yang mereka bayang kan selama ini. Banyak hal-hal tidak benar tentang diri ku yang kusampaikan kepada mereka. Yang mereka tahu selama ini adalah aku adalah anak nya yang rajin belajar, rajin beribadah, menjaga pergaulan, dan hal-hal positif lainnya yang selalu dibanggakan kepada tetangga dan teman di tempat mereka mengajar.
                   Sudahlah, masih ada setahun lagi untuk memenuhi semua harapan mereka. Melebihi kalau mungkin. Banyak yang akan aku buktikan kepada mereka ketika hari mereka menjemput ku nanti. Mereka akan melihat ku dengan gagahnya memakai PDU B dengan pin purna di dada kanan. Pun saat itu juga mereka akan ku kenalkan dengan “dia” yang telah menemaniku setahun ini selama pencarian diri ku ini. #sambil mendengar dia menyanyikan “lagu rindu, aquarium timur sumsel bawah, 131111.